MAKALAH
USHUL FIQIH KEDUDUKAN IJMA’
Makalah
di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah USHUL FIQIH yang di
bimbing
oleh Dosen: H. Irfan Kasyaf Noerfiqhy, Lc, M.Ag
Disusun oleh :
Kelompok II
Sahar Maarij
Alwan Alfaiz
Prodi Ekonomi Syariah
STAI PERSIS GARUT GARUT 2020\2021
Jl. Aruji Kartawinata, Garut Jawa Barat, Jayaraga,
Targong Kidul 44151
2020-2021
Kata Pengntar
Alhamdulillah
puji syukur kita panjatkan kepada Allah sang pemilik hari pembalasan, Tuhan
yang Maha kaya. Sholawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad sang revolusi Islam yang membawa Islam ke penjuru dunia dengan
perjuangannya. Bersukur kita kepada Allah yang telah memberikan kesempatan bagi
penulis untuk menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh Dosen: H. Irfan Kasyaf Noerfiqhy, Lc, M.Ag. sebagai dosen Mata Kuliah Ushul Fiqh, Prodi
Ekonomi Syariah di STAI Persis Garut.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
B.
Rukun-rukun Ijma’
C.
Macam-macam Ijma’
D.
Fungsi dan Kedudukan Ijma’
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pada
Dasarnya Ushul Fiqih menerangkan tentang Pengertian, Objek , Perbedaan dengan
fiqih, tujuan mempelajari dan sumber pengambilan yang akurat. Ushul fiqih
memiliki sejarah dan pekembangan dari zaman ke zaman sehingga banyaknya
perbedaan yang tentang hukum-hukum keislaman
dan petunjuk kehidupan. Seperti halnya Al-Qur’an dan Al-hadits sebagai
sumber hukum islam, Ijma’, Qiyas, Ihtisan, Maslahah mursalah, Ur’f, Berbagai
macam Madzhab Shahabi, Istishab, Syar’u man qoblana, Ijtihad dan Al-Ahkam
al-Syar’iyah.
Materi
tersebut sangat berkaitan dengan hukum yang berada dilingkup keislaman, karena
pada dasarnya Ushul fiqih membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat
digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum sya’riat islam dari sumbernya.
Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil
bagi suatu hukum dengan menggunakan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqih” agar
dapat diamalkan dengan mudah.
Ushul
Fiqih mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya,
formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan sekarang, sehingga orang dapat merumuskan hukum dan penilaian terhadap
kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran agama islam yang bersifat
universal.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Ijma’?
2.
Bagaimana Rukun-rukun Ijma’?
3.
Bagaimana Macam-macam Ijma’?
4.
Bagaimana Fungsi dan Kedudukan
Ijma’?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian
Ijma’?
2.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Rukun-rukun Ijma’?
3.
Untuk Mengetahui Bagaimana
Macam-macam Ijma’?
4.
Untuk Mengetahui Bagaimana Fungsi
dan Kedudukan Ijma’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijma’
Para ulama
Ushul Fikih telah sepakat menetapkan bahwa ijma’ telah menjadi salah satu dalil
untuk menetapkan hukum ( dalil hukum ). Untuk mengetahui pengertian ijma’, para
ulama ushul fikih telah menjelaskan ijma’ dari sisi etimologi dan terminologi.
Secara
etimologi, ijma’ adalah bentuk masdar (kata benda jadian) dari kata kerja اجمع yang mrmiliki dua makna, yaitu kesepakatan
atau konsensus dan ketetapan hati dalam suatu perkara. Ijma’ dengan makna
kesepakatan atau konsensus ini juga digunakan al-Quran, sebagaimana disebutkan
dalam al-Qura surat Yusuf/12: 15.
$£Jn=sù
(#qç7yds
¾ÏmÎ/
(#þqãèuHødr&ur
br&
çnqè=yèøgs
Îû
ÏMt6»uxî
Éb=ègø:$#
4
!$uZøym÷rr&ur
Ïmøs9Î)
Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9
öNÏdÌøBr'Î/
#x»yd
öNèdur
w
tbráãèô±o
ÇÊÎÈ
“Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu
Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi."
Adapun ijma’
dalam pengertian hati dapat dicermati dengan lafaz اجمعوا dalam al-Quran, Surat Yunus/10: 71
berikut ini :
(#þqãèÏHødr'sù
öNä.{øBr&
öNä.uä!%x.uà°ur
Artinya: karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).
Secara terminologi, para ulama Ushul Fikih
memiliki perbedaan dalam mendefinisakan Ijma’ perbedaan mereka bukan pada
substansi konseptualnya melainkan pada perbedaan redaksional. Menurut
Al-Ghazali, “Ijma’ adalah umat Muhammad bersepakat secara khusus tentang suatu
maslah agama.” Al-Ghazali pada definisi ini memberikan poin penting, yaitu
ijma’ dilakukan umat muhammad dengan tidak menyebutkan batasnya, karena itu
umat Muhammad disini bisa umat Muhammad semasa Rasulullah masih hidup dan juga
bisa berarti pasca wafatnya Rasulullah. Namun, kalau umat Muhammad semasa
Rasulullah masih hidup Ijma’ tidak diperlukan karena segala keputusan atas
suatu masalah langsung ditetapkan oleh Rasulullah begitu juga, Al-Ghazali tidak
menyebutkan jumlah umat Muhammad. Karena itu, definisi Al-Ghazali ini dimaknai
seluruh umat Muhammad. Pada masa sahabat, sangat dimungkin terjadi Ijma’
dikalangan sahabat Karena jumlahnya sedikit, tetapi sekarang ini dengan jumlah
umat sangat besar, maka Ijma’ hampir dikatakan tidak bisa terjadi ( effendi
2008 ).
Al-Amidi (1387 H), Salah seorang ahli Ushul
Fikih dari kalangan Madzhab Syafi’i, memberikan komentar atas definisi yang
dirumuskan al-Ghazali. Menurutnya, rumusan Ijma’ menurut al-Ghazali tersembut
bersumber dari pendapatnya Imam Syafi’i. Seperti diketahui bahwa Imam Syafi’i
berpendapat bahwa Ijma’ itu dilakukan dan dihasilkan berdasarkan kesepakatan
seluruh umat Islam. Dengan keharusan seluruh umat Islam hasil Ijma’ dapat
terhindar dari kesalahan.
Setelah memberikan komentar pengertian Ijma’
menurut al-Ghazali, al-Amidi mendefinisakan Ijma’ adalah kesepakatan ahl
al-wall wa al-‘aqdi dari umat Muhammad pada suatu asa terhadap suatu hukum
dari suatu peristiwa atau kasus.” Definisi al-Amidi ini agak berbeda dengan
al-Ghazali, khususnya yang terlibat dalam proses Ijma’. Dalam definisi al-Amidi
dibatasi pada orang tertentu, yaitu ahl al-wall wa al-‘aqdi. Disamping
itu, al-Amidi juga membatasi masa tertentu. Ini berarti Ijma’ pada suatu
masalah bisa terjadi pada negara tertentu tapi di negara lainnya maslah
tersebut terjadi Ijma’, Ijma’ seperti yang didefinisikan al-Amidi ini lebih
realistis dibanding definisi al-Ghazali.
Menurut
Mazhab Maliki, kesepakatan atas suatu masalah dapat diakui sebagai Ijma’
meskipun dilakukan oleh penduduk madinah yang populer dengan sebutan Ijma’ ahl
al madinah. Menurut Abdil Karim Zaidan (2009), kesepakatan baru bisa di
klaim sebagai Ijma’ bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama Mujtahid. Pada
definisi ini, Zaidan menyebutkan bahwa ulama yang terlihat dalam proses Ijma’
adalah mujtahid, bukan lainnya. Penyebutan mujtahid ini dapat dipahami karena
mujtahid adalah orang yang memahami betul persoalan hukum Islam. Namun, dewasa
ini, saat hendak memutuskan suatu masalah tidak cukup melibatkan mujtahid
dengan pengertian ahli fikih tetapi perlu melibatkan ahli dibidang yang
dibahas. Dengan perlibatan ahli dibidangnya ini narasi masalah yang diputuskan
mujtahid menjadi tepat.
Wahbah az-Zuhali memberikan informasi bahwa
jumhur ulama telah merumuskan: Ijma’ adalah kesepakatan bulat para mujtahid dari
umat Muhammad pada suatu masa pasca wafatnya Rasulullah terhadap hukum,
meminjam istilah Abu Zahrah, yang bersifat amaliah. Sifat amaliah dengan
menggunakan dasar Ijma’. Begitu juga dengan menyebutkan umat Muhammad berarti
ijma’ itu hanya dilakukan oleh kaum muslimin pada definisi tersebut juga
menyebutkan bahwa Ijma’ itu ada setelah wafatnya Rasulullah. Mengapa setelah
masa Rasul? Karena semasa Rasulullah masih hidup, setiap masalah langsung
ditetapkan oleh Rasul sendiri tanpa perlu mendapatkan kesepakatan sahabat.
Pada definisi jumhur ulama tersebut diatas
tidak membatasi suatu kesepakatan yang bisa dikatan sebagai Ijma’ harus
kesepakatan utuh seluruh mujtahid di dunia, tetapi cukup dengan mujtahid yang
hidup di suatu Negara dimana mujtahid itu bedomisili. Namun, jika ada sebagian
mujtahid disuatu Negara tidak setuju, maka hukum yang ditetapkan tidak bisa
diklaim sebagai hasil Ijma’.
B. Rukun-rukun
Ijma’
Berdasarkan definisi diatas, ijma’
merupakan konsensus ulama tehadap problematika hukum syar’i pasca wafatnya Nabi
SAW oleh karena itu, dari definisi dan dasar hukum ijma’ diatas, maka ulama
Ushul Fikih menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut :[[1]]
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala
terjadinya peristiwa, da para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan
(menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahi
diwaktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma’, karena
ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.
2. Pelaku
kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia islam. Jika
kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara
saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatan suatu ijma’.
3. Kesepakatan
itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa
yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu
unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga
ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan
suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang
telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik
ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.
4. Kesepakatan
itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian mujtahid yang ada, maka
keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’, ijma’ yang demikian belum
dapat dijadikan sebagai hujjah syariah.
5. Kesepakatan
itu harus bersandarkan pada syar’i, baik berupa nash maupun Qiyas. Karena ijma’
yang tanpa dasar tidak dapat diterima dan ijma’ yang disandarkan hanya pada
akal merupakan konsensus yang terlarang.[[2]]
C. Macam-macam
Ijma’
Para ulama Ushul Fikih membagi Ijma’
kedalam dua bentuk yaitu ijma’ sarih dan sukuti. Pembagian ini
didasarkan pada proses terjadinya ijma’. Ijma’ sarih adalah kesepakatan
secara bulat dari para ulama atau mujtahid pada suatu masa, baik melalui
pendapat lisan maupun tulisan terhadap suatu masalah tertentu.
Menurut Abdul Karim Zaidan ijma’
Sarih (tegas) dan Sukuti (persetujuan yang
diketahui lewat diamnya sebagian ulama), adalah sebagai berikut :
Ijma’ Sarih adalah kesepakatan tegas
dari para mujtahid dimana para masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya
secara tegas terhadap kesimpulan itu.
Ijma’ Sukuti adalah bahwa sebagian
ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya
diam tanpa komentar. Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang ijma’
sukuti ini. Menurutu Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah, Ijma’ sukuti tidak
dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagaian para
mujtahi belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada
penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi
juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat
itu karena dianggap lebih senior. Adapun menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’
sukuti sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diamnya sebagian ulama
mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika ereka tidak setuju dan
memandangnya keliru, mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak
menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Pendapat lain, yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan,
diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah tejadi Ijma’, namun
pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.
D. Fungsi
Ijma’
Dari beberapa bentuk hukum yang
ditetapkan melalu ijma’ dapat ditetapkan beberapa fungsi ijma’:
1. Memberikan
arti yang pasti atas suatu lafaz nash atau maksud yang pasti dari sebuah ayal
al-Quran. Banyak ditemukan dalam al-Quran lafaz yang multimakna. Di antara
lafaz tersebut ada yang telah disepakati ulama tentang arti dan maksudnya.
Kesepakatan itu disebut ijma’. suruhan Allah untuk melaksanakan shalat
disepakati mengandung arti wajibnya shalat itu. Larangan Allah untuk berbuat
Zina mengandung arti adanya hukum haram perbuatan zina itu. Kata “mewasiatkan”
dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 11 berarti “mewajibkan”. Dalam contoh yang
disebutkan tidak terdapat beda pendapat ulama tentang hukumnya. Ijma’ dalam
bentuk ini yang jumlahnya begitu banyak disebut kesepakatan dalam memahami nash
al-Quran atau Sunnah Nabi.
2. Meningkatkat
sebuah Hadis Nabi dari bersifat lemah atau zhanni menjadi bersifat kuat atau
qath’iy. Umpanya hak warisan nenek atas peninggalannya cucunya sebanyak
seperenam, mulanya ditetapkan oleh Hadis yang lemah yang tidak diketahui adanya
oleh Abu Bakar. Setelah dikuatkan oleh dua orang sahabat lainnya akhirnya
diterima oleh Abu Bakar dan diterima secara sepakat oleh orang banyak. Hal ini
berarti Ijma’ ulama menjadikan Hadis Nabi yang lemah tersebut menjadi kuat.
3. Menetapkan
hukum atas sesuatu yang tidak ada landasannya sama sekali dalam Al-Quran atau
Sunnah. Umpanya pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah pertama ditetapkan
melalui ijma yang sebelumnya didahului oleh debat yang panjang dari para
sahabat.
E. Kedudukan
Ijma’ Sebagai Sumber Hukum
Para ulama sepakat bahwa ijma’
merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga
setelah al-Quran dan Sunnah. Tak ada ulama yang menolak keberadaan ijma’
sebagai sumber hukum. Posisi ijma’ sebagai sumber hukum didasari oleh nas al-Quran
surat an-Nisa/4 ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur ....... ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya),
Lafaz ulil amri dalam ayat di
atas mengandung dua pengertian sebagaimana tafsir Ibnu Abbas:
1.
Penguasa dunia seperti raja, presiden, atau umara
2.
Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.
Kedua macam ulil amri di atas
wajib bagi umat islam, untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan
hukum Allah.
Terminologi
ijma’ dikaitakan dengan ulil amri di atas masuk kepada poin kedua yaitu
mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama.
Kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma’ yang mengikat
bagi umat Islam untuk diikuti.[[3]]
Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi
yang menegaskan bahwa pada hakikatnya ijma’ adalah milik umat Islam secara
keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil umat dalam memutuskan hukum.
Tentunya mereka sebagai wakil umat tidak mungkin berdusta atau berbuat
kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum
suatu masalah maka keputusannya dianggap absah dan benar. Sebagaimana hadis
Nabi
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً؛
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً؛ فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ سَيِّئٌ (رواه احمد)
Artinya; “Apa saja yang dipandang
kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan.
Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi
Allah juga merupakan keburukan” (HR Ahmad).
Menurut Abu Zahra sebgaimana dikutip
oleh satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku
kesepakatan hingga ijma’ itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat
untuk diikuti. Menurut mazhab Maliki, kesepakan dianggap ijma’ meskipun hanya
berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma’ ahli madinah. Menurut
kalangan Syiah, ijma adalah kesepakatan para imam dikalangan mereka. Adapun menurut
jumhur ulama ijma sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas
ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ dianggap terjadi bila
merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[[4]]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber hukum islam sejatinya terbagi
atas Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Sedangkan Sunnah merupakan jalan yang
biasa dilakukan , tidak mempermasalahkan apakah cara tersebut baik atau buruk.
Pengertian sunnah bisa diartikan Ilmu Hadits,
Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Ijma’ memiliki
Landasan dasar yaitu adanya Dalil-dalil yang berasal dari Rasullulah Saw. Ijma’
dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash Syara.
Ijma’ memiliki berbagai macam syarat
yang harus di penuhi oleh mujtahid:
Memiliki pengetahuan tentang Al
Qur’an.
Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Memiliki pengetahuan tentang masalah
Ijma’ sebelumnya.
Memiliki pengetahuan tentang ushul
fikih.
Menguasai ilmu bahasa.
Rukun-rukun Ijma’ terbagi atas harus
mujtahid dikala itu, melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid terjadi
setelah wafatnya Nabi. Semacam Ijma ;Ijma’ Bayani, Ijma’ Sukuti, Ijma’ Qath’I,
Ijma’ Dhanni. Kehujjahan ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah)
hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili
dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga
memungkinkan terjadinya ijma.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Imron Rosyadi, M.Ag. dan Dr. Muhammad Muinudinillah Basri, M.A.
Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan
ke-1 januari 2020
Dr. Moh. Mufid, Lc.., M.H.I. Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer.
Edisi Kedua. Cetakan ke-2, Juli 2018
Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A. USHUL FIQIH Edisi
Pertama. Cetakan ke-7, Januari 2017
Prof. Dr. Amir Syarifuddin. GARIS-GARIS BESAR USHUL FIQH. Cet
ke-1, April 2012 Cet ke-2, Juli 2014
Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. USHUL FIQH Edisi Pertama. Cetakan
ke-3, Januari 2017
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h. 63.
[2] Wahbah al-Zuhaili,
al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1999), h. 48.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt), h. 47.
[4] Satria Effendi, M Zein,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), cet ke-3, hlm. 125.