MAKALAH USHUL FIQH TENTANG KEDUDUKAN IJMA'

 

MAKALAH

USHUL FIQIH KEDUDUKAN IJMA’

Makalah di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah USHUL FIQIH yang di

bimbing oleh Dosen: H. Irfan Kasyaf Noerfiqhy, Lc, M.Ag

 

 



Disusun oleh :

Kelompok II

Sahar Maarij

Alwan Alfaiz

 

Prodi Ekonomi Syariah

STAI PERSIS GARUT GARUT 2020\2021

Jl. Aruji Kartawinata, Garut Jawa Barat, Jayaraga, Targong Kidul 44151

2020-2021

Kata Pengntar

            Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kepada Allah sang pemilik hari pembalasan, Tuhan yang Maha kaya. Sholawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad sang revolusi Islam yang membawa Islam ke penjuru dunia dengan perjuangannya. Bersukur kita kepada Allah yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan tugas makalah yang diberikan oleh Dosen: H. Irfan Kasyaf Noerfiqhy, Lc, M.Ag. sebagai dosen Mata Kuliah Ushul Fiqh, Prodi Ekonomi Syariah di STAI Persis Garut.


 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................

BAB I             PENDAHULUAN

                        A.   Latar Belakang Masalah

                        B.   Rumusan Masalah

                        C.   Tujuan Pembahasan

BAB II                        PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ijma’

B.      Rukun-rukun Ijma’

C.      Macam-macam Ijma’

D.     Fungsi dan Kedudukan Ijma’

BAB III          PENUTUP

                        A.   Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Pada Dasarnya Ushul Fiqih menerangkan tentang Pengertian, Objek , Perbedaan dengan fiqih, tujuan mempelajari dan sumber pengambilan yang akurat. Ushul fiqih memiliki sejarah dan pekembangan dari zaman ke zaman sehingga banyaknya perbedaan yang tentang hukum-hukum keislaman  dan petunjuk kehidupan. Seperti halnya Al-Qur’an dan Al-hadits sebagai sumber hukum islam, Ijma’, Qiyas, Ihtisan, Maslahah mursalah, Ur’f, Berbagai macam Madzhab Shahabi, Istishab, Syar’u man qoblana, Ijtihad dan Al-Ahkam al-Syar’iyah.

Materi tersebut sangat berkaitan dengan hukum yang berada dilingkup keislaman, karena pada dasarnya Ushul fiqih membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum sya’riat islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi suatu hukum dengan menggunakan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqih” agar dapat diamalkan dengan mudah.

Ushul Fiqih mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya, formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, sehingga orang dapat merumuskan hukum dan penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran agama islam yang bersifat universal.

 

 

 

 

 

 

 

B.  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Pengertian Ijma’?

2.    Bagaimana Rukun-rukun Ijma’?

3.    Bagaimana Macam-macam Ijma’?

4.    Bagaimana Fungsi dan Kedudukan Ijma’?

C.  Tujuan Pembahasan

1.    Untuk Mengetahui Pengertian Ijma’?

2.    Untuk Mengetahui Bagaimana Rukun-rukun Ijma’?

3.    Untuk Mengetahui Bagaimana Macam-macam Ijma’?

4.    Untuk Mengetahui Bagaimana Fungsi dan Kedudukan Ijma’?


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ijma’

Para ulama Ushul Fikih telah sepakat menetapkan bahwa ijma’ telah menjadi salah satu dalil untuk menetapkan hukum ( dalil hukum ). Untuk mengetahui pengertian ijma’, para ulama ushul fikih telah menjelaskan ijma’ dari sisi etimologi dan terminologi.

Secara etimologi, ijma’ adalah bentuk masdar (kata benda jadian) dari kata kerja اجمع  yang mrmiliki dua makna, yaitu kesepakatan atau konsensus dan ketetapan hati dalam suatu perkara. Ijma’ dengan makna kesepakatan atau konsensus ini juga digunakan al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam al-Qura surat Yusuf/12: 15.

$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4 !$uZøŠym÷rr&ur ÏmøŠs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏd̍øBr'Î/ #x»yd öNèdur Ÿw tbráãèô±o ÇÊÎÈ  

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."

 

            Adapun ijma’ dalam pengertian hati dapat dicermati dengan lafaz اجمعوا dalam al-Quran, Surat Yunus/10: 71 berikut ini :

(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur

Artinya: karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).

 

                Secara terminologi, para ulama Ushul Fikih memiliki perbedaan dalam mendefinisakan Ijma’ perbedaan mereka bukan pada substansi konseptualnya melainkan pada perbedaan redaksional. Menurut Al-Ghazali, “Ijma’ adalah umat Muhammad bersepakat secara khusus tentang suatu maslah agama.” Al-Ghazali pada definisi ini memberikan poin penting, yaitu ijma’ dilakukan umat muhammad dengan tidak menyebutkan batasnya, karena itu umat Muhammad disini bisa umat Muhammad semasa Rasulullah masih hidup dan juga bisa berarti pasca wafatnya Rasulullah. Namun, kalau umat Muhammad semasa Rasulullah masih hidup Ijma’ tidak diperlukan karena segala keputusan atas suatu masalah langsung ditetapkan oleh Rasulullah begitu juga, Al-Ghazali tidak menyebutkan jumlah umat Muhammad. Karena itu, definisi Al-Ghazali ini dimaknai seluruh umat Muhammad. Pada masa sahabat, sangat dimungkin terjadi Ijma’ dikalangan sahabat Karena jumlahnya sedikit, tetapi sekarang ini dengan jumlah umat sangat besar, maka Ijma’ hampir dikatakan tidak bisa terjadi ( effendi 2008 ).

Al-Amidi (1387 H), Salah seorang ahli Ushul Fikih dari kalangan Madzhab Syafi’i, memberikan komentar atas definisi yang dirumuskan al-Ghazali. Menurutnya, rumusan Ijma’ menurut al-Ghazali tersembut bersumber dari pendapatnya Imam Syafi’i. Seperti diketahui bahwa Imam Syafi’i berpendapat bahwa Ijma’ itu dilakukan dan dihasilkan berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam. Dengan keharusan seluruh umat Islam hasil Ijma’ dapat terhindar dari kesalahan.

Setelah memberikan komentar pengertian Ijma’ menurut al-Ghazali, al-Amidi mendefinisakan Ijma’ adalah kesepakatan ahl al-wall wa al-‘aqdi dari umat Muhammad pada suatu asa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa atau kasus.” Definisi al-Amidi ini agak berbeda dengan al-Ghazali, khususnya yang terlibat dalam proses Ijma’. Dalam definisi al-Amidi dibatasi pada orang tertentu, yaitu ahl al-wall wa al-‘aqdi. Disamping itu, al-Amidi juga membatasi masa tertentu. Ini berarti Ijma’ pada suatu masalah bisa terjadi pada negara tertentu tapi di negara lainnya maslah tersebut terjadi Ijma’, Ijma’ seperti yang didefinisikan al-Amidi ini lebih realistis dibanding definisi al-Ghazali.

 Menurut Mazhab Maliki, kesepakatan atas suatu masalah dapat diakui sebagai Ijma’ meskipun dilakukan oleh penduduk madinah yang populer dengan sebutan Ijma’ ahl al madinah. Menurut Abdil Karim Zaidan (2009), kesepakatan baru bisa di klaim sebagai Ijma’ bilamana merupakan kesepakatan seluruh ulama Mujtahid. Pada definisi ini, Zaidan menyebutkan bahwa ulama yang terlihat dalam proses Ijma’ adalah mujtahid, bukan lainnya. Penyebutan mujtahid ini dapat dipahami karena mujtahid adalah orang yang memahami betul persoalan hukum Islam. Namun, dewasa ini, saat hendak memutuskan suatu masalah tidak cukup melibatkan mujtahid dengan pengertian ahli fikih tetapi perlu melibatkan ahli dibidang yang dibahas. Dengan perlibatan ahli dibidangnya ini narasi masalah yang diputuskan mujtahid menjadi tepat.

Wahbah az-Zuhali memberikan informasi bahwa jumhur ulama telah merumuskan: Ijma’ adalah kesepakatan bulat para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa pasca wafatnya Rasulullah terhadap hukum, meminjam istilah Abu Zahrah, yang bersifat amaliah. Sifat amaliah dengan menggunakan dasar Ijma’. Begitu juga dengan menyebutkan umat Muhammad berarti ijma’ itu hanya dilakukan oleh kaum muslimin pada definisi tersebut juga menyebutkan bahwa Ijma’ itu ada setelah wafatnya Rasulullah. Mengapa setelah masa Rasul? Karena semasa Rasulullah masih hidup, setiap masalah langsung ditetapkan oleh Rasul sendiri tanpa perlu mendapatkan kesepakatan sahabat.

Pada definisi jumhur ulama tersebut diatas tidak membatasi suatu kesepakatan yang bisa dikatan sebagai Ijma’ harus kesepakatan utuh seluruh mujtahid di dunia, tetapi cukup dengan mujtahid yang hidup di suatu Negara dimana mujtahid itu bedomisili. Namun, jika ada sebagian mujtahid disuatu Negara tidak setuju, maka hukum yang ditetapkan tidak bisa diklaim sebagai hasil Ijma’.

B.  Rukun-rukun Ijma’

Berdasarkan definisi diatas, ijma’ merupakan konsensus ulama tehadap problematika hukum syar’i pasca wafatnya Nabi SAW oleh karena itu, dari definisi dan dasar hukum ijma’ diatas, maka ulama Ushul Fikih menetapkan rukun-rukun ijma’ sebagai berikut :[[1]]

1.       Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa, da para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahi diwaktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijma’, karena ijma’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.

2.      Pelaku kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatan suatu ijma’.

3.      Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara’) dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

4.      Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebagian mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma’, ijma’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syariah.

5.      Kesepakatan itu harus bersandarkan pada syar’i, baik berupa nash maupun Qiyas. Karena ijma’ yang tanpa dasar tidak dapat diterima dan ijma’ yang disandarkan hanya pada akal merupakan konsensus yang terlarang.[[2]]

 

 

 

 

C.  Macam-macam Ijma’

Para ulama Ushul Fikih membagi Ijma’ kedalam dua bentuk yaitu ijma’ sarih dan sukuti. Pembagian ini didasarkan pada proses terjadinya ijma’. Ijma’ sarih adalah kesepakatan secara bulat dari para ulama atau mujtahid pada suatu masa, baik melalui pendapat lisan maupun tulisan terhadap suatu masalah tertentu.

Menurut Abdul Karim Zaidan ijma’ Sarih (tegas)  dan Sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama), adalah sebagai berikut :

Ijma’ Sarih adalah kesepakatan tegas dari para mujtahid dimana para masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.

Ijma’ Sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar. Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang ijma’ sukuti ini. Menurutu Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah, Ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagaian para mujtahi belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah didukung oleh penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap lebih senior. Adapun menurut Hanafiyah dan Hanabilah, ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum. Alasannya, bahwa diamnya sebagian ulama mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika ereka tidak setuju dan memandangnya keliru, mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya. Pendapat lain, yaitu pendapat sebagian Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan, diamnya sebagian ulama mujtahid tidak dapat dikatakan telah tejadi Ijma’, namun pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.

D.  Fungsi Ijma’

Dari beberapa bentuk hukum yang ditetapkan melalu ijma’ dapat ditetapkan beberapa fungsi ijma’:

1.      Memberikan arti yang pasti atas suatu lafaz nash atau maksud yang pasti dari sebuah ayal al-Quran. Banyak ditemukan dalam al-Quran lafaz yang multimakna. Di antara lafaz tersebut ada yang telah disepakati ulama tentang arti dan maksudnya. Kesepakatan itu disebut ijma’. suruhan Allah untuk melaksanakan shalat disepakati mengandung arti wajibnya shalat itu. Larangan Allah untuk berbuat Zina mengandung arti adanya hukum haram perbuatan zina itu. Kata “mewasiatkan” dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 11 berarti “mewajibkan”. Dalam contoh yang disebutkan tidak terdapat beda pendapat ulama tentang hukumnya. Ijma’ dalam bentuk ini yang jumlahnya begitu banyak disebut kesepakatan dalam memahami nash al-Quran atau Sunnah Nabi.

2.      Meningkatkat sebuah Hadis Nabi dari bersifat lemah atau zhanni menjadi bersifat kuat atau qath’iy. Umpanya hak warisan nenek atas peninggalannya cucunya sebanyak seperenam, mulanya ditetapkan oleh Hadis yang lemah yang tidak diketahui adanya oleh Abu Bakar. Setelah dikuatkan oleh dua orang sahabat lainnya akhirnya diterima oleh Abu Bakar dan diterima secara sepakat oleh orang banyak. Hal ini berarti Ijma’ ulama menjadikan Hadis Nabi yang lemah tersebut menjadi kuat.

3.      Menetapkan hukum atas sesuatu yang tidak ada landasannya sama sekali dalam Al-Quran atau Sunnah. Umpanya pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah pertama ditetapkan melalui ijma yang sebelumnya didahului oleh debat yang panjang dari para sahabat.

 

E.  Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum

Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Quran dan Sunnah. Tak ada ulama yang menolak keberadaan ijma’ sebagai sumber hukum. Posisi ijma’ sebagai sumber hukum didasari oleh nas al-Quran surat an-Nisa/4 ayat 59:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur ....... ÇÎÒÈ  

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

 

            Lafaz ulil amri dalam ayat di atas mengandung dua pengertian sebagaimana tafsir Ibnu Abbas:

1.                  Penguasa dunia seperti raja, presiden, atau umara

2.                  Penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.

Kedua macam ulil amri di atas wajib bagi umat islam, untuk menaatinya selama mereka tidak bertentangan dengan hukum Allah.

Terminologi ijma’ dikaitakan dengan ulil amri di atas masuk kepada poin kedua yaitu mujtahid atau ahli fatwa yang memiliki kedudukan sebagai pemimpin agama. Kesepakatan mereka terhadap hukum suatu masalah itu disebut ijma’ yang mengikat bagi umat Islam untuk diikuti.[[3]]

 Kedudukan ijma’ sebagai sumber hukum islam didasari oleh hadis Nabi yang menegaskan bahwa pada hakikatnya ijma’ adalah milik umat Islam secara keseluruhan. Imam mujtahid merupakan wakil umat dalam memutuskan hukum. Tentunya mereka sebagai wakil umat tidak mungkin berdusta atau berbuat kesalahan yang disengaja. Maka jika mereka sudah berkumpul dan memutuskan hukum suatu masalah maka keputusannya dianggap absah dan benar. Sebagaimana hadis Nabi

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً؛ فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ (رواه احمد)

 

Artinya; “Apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan. Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan” (HR Ahmad).

 

 

            Menurut Abu Zahra sebgaimana dikutip oleh satria Effendi, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jumlah pelaku kesepakatan hingga ijma’ itu dapat dianggap sebagai kesepakatan yang mengikat untuk diikuti. Menurut mazhab Maliki, kesepakan dianggap ijma’ meskipun hanya berupa kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan ijma’ ahli madinah. Menurut kalangan Syiah, ijma adalah kesepakatan para imam dikalangan mereka. Adapun menurut jumhur ulama ijma sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama mujtahid. Dan menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ dianggap terjadi bila merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid.[[4]]


 

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Sumber hukum islam sejatinya terbagi atas Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Sedangkan Sunnah merupakan jalan yang biasa dilakukan , tidak mempermasalahkan apakah cara tersebut baik atau buruk.

 Pengertian sunnah bisa diartikan Ilmu Hadits, Ijma’, ialah kespakatan mujtahid ummat islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Ijma’ memiliki Landasan dasar yaitu adanya Dalil-dalil yang berasal dari Rasullulah Saw. Ijma’ dapat dijadikan hujjah yang harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara.

Ijma’ memiliki berbagai macam syarat yang harus di penuhi oleh mujtahid:

Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.

Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.

Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.

Memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.

Menguasai ilmu bahasa.

Rukun-rukun Ijma’ terbagi atas harus mujtahid dikala itu, melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid terjadi setelah wafatnya Nabi. Semacam Ijma ;Ijma’ Bayani, Ijma’ Sukuti, Ijma’ Qath’I, Ijma’ Dhanni. Kehujjahan ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi (Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara sehingga memungkinkan terjadinya ijma.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dr. Imron Rosyadi, M.Ag. dan Dr. Muhammad Muinudinillah Basri, M.A.  Hukum Ekonomi Syariah. Cetakan ke-1 januari 2020

 

Dr. Moh. Mufid, Lc.., M.H.I.  Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Edisi Kedua. Cetakan ke-2, Juli 2018

 

Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.Zein, M.A. USHUL FIQIH Edisi Pertama. Cetakan ke-7, Januari 2017

 

Prof. Dr. Amir Syarifuddin. GARIS-GARIS BESAR USHUL FIQH. Cet ke-1, April 2012 Cet ke-2, Juli 2014

 

Dr. H. Sapiudin Shidiq, M.Ag. USHUL FIQH Edisi Pertama. Cetakan ke-3, Januari 2017

 

 

 

 

 



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), h. 63.

[2] Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1999), h. 48.

[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt), h. 47.

[4] Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), cet ke-3, hlm. 125.

AAFZ Channel

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama